Wednesday, March 17, 2010

Detik-Detik Terakhir Bersamanya…

Bismillah…ku tuliskan cerita ini untuk mengobati kerinduan yang amat dalam kepada Datok Ali Mannan, kakek tercinta rahimahullah…adik dari Ibu Aji tercinta semoga Allah meridhai-Nya..
Berita tentang kambuhnya penyakit jantung yang dideritanya baru saja terdengar setelah kepindahannya yang sudah ketiga kali di Rumah Sakit. Aku pun teringat ketika beliau saat itu juga beliau pernah berada terbaring sakit di sana, masih sempat menyapaku dengan senyum penuh merekah… meskipun selang bius mengelilingi lengannya yang kekar. Betapa senangnya hati ini pada saat beliau menyapaku, beberapa hari kemudian beliau telah sehat kembali dan masih sempat menikmati santapan makanan di hari Ied tahun kemarin.
Sudah lama aku tak bersua dengannya karena banyak amanah pekerjaan yang menjadi rutinitas harianku selama ini. Itulah kelebihan beliau di usianya yang ketujuh puluh satu, meskipun kita jarang bersua namun beliau masih mengingat jelas siapa cucu-cucunya dan masih sempat berbagi keceriaan bersama kami. Aku tahu beliau tak pernah melupakan cucu-cucunya karena sepanjang hidup beliau dikelilingi oleh qurrata a’yun yang senantiasa menyertainya di rumah. Masih teringat ketika kita bersama menuju acara pernikahan keluarga di Soppeng, beliau tersenyum dan memujiku mengenakan jilbab jatuh menutup ujung jemariku, yang notabene belum ada satu pun member dari cucu keluarga besar yang modelnya sepertiku.
Spontan nafasku seperti tertahan ketika mendengarnya sudah tidak sadarkan diri selama beberapa hari lamanya… Aku ingin melihatnya!, pintaku. Aku ingin melihatnya menyambutku di pembaringannya dan menghiburnya seperti dulu…Aku memang bukan cucu yang selalu dilihatnya setiap hari. Bukanlah anak yang selalu menyapanya seperti yang sanak saudara yang lain. Namun hanya dengan melihat beliau hati ini sudah merasa cukup gembira memperhatikannya tertawa melihat cicitnya yang berlenggak lenggok dengan gaya centilnya sambil berlari kian kemari sekedar mencari perhatiannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam lewat beberapa menit..harap-harap cemas sudah menyelimuti pikiranku hingga akupun tak mampu bertanya-tanya lagi kepada tante dan kakekku yang menjemputku dan Mama di rumah. Akhirnya kita pun berangkat ke rumah sakit yang lumayan jauh dari rumah. Ruangan beliau adalah ruangan yang sama ditempatinya pada saat itu, Ruang Kardiologi. Hanya beberapa langkah saja kaki harus berjalan menelusuri koridor rumah sakit.
Namun satu hal yang beda, tak terlihat lagi wajahnya yang menyambutku dengan senyum indahnya. Beliau hanya bisa mendengar atau masih merasakan sentuhan orang-orang yang melihatnya dengan wajah penuh duka. Dahulu selang yang melingkar hanya di lengannya dari sekedar botol obat. Namun sekarang…selang yang terulur di sekujur tubuhnya semakin membuatnya seperti jasad tanpa daya.
Di balik tirai hijau yang menyelimuti ruang pembaringnya, aku tidak mampu lagi berucap apa-apa. Ummi, istri tercinta beliau memintaku untuk membantu mentalqinnya. Tanpa berbicara lagi..aku bersegera memegang dahinya dan menatap wajahnya dan membisikkannya kalimat agung “ Laa ilaa ha illallah…”
Sesekali beliau membalik-balikkan wajahnya, namun tak sanggup lagi berbicara. Desah nafasnya yang tersengal-sengal membuatku tak mampu menahan air mata ketika mentalqinnya. Ya Allah, mudahkanlah kepergiannya jika memang tanda-tanda ini kautunjukkan pada kami bahwa tak lama lagi Engkau akan mengambil jiwanya….ya Allah, mudahkanlah ia menghadapi sakaratnya…
Satu jam tak terasa telah berlalu…ku buka kembali surah al-Fath dan beberapa surah dari quraan juz 28. Setidaknya aku ingin beliau mendengar ayat-ayat Allah yang begitu mulia sebelum ia meninggalkan dunia yang fana ini. Ar-Rahmaan…’allamal qur’aan,… Idzaa waqa’Atil Waa qi’ah… Sesekali ada ayat-ayat yang kupilih dan diulang-ulang agar beliau senantiasa mampu mengambil manfaat dari apa yang diperdengarkannya. Badan beliau hangat..namun terkadang kembali dingin ketika tidak ada lagi yang menyapanya meskipun dengan sebuah ayat yang dibisikkan di telinganya. Aku ingin selalu memeluknya dengan harapan itu mampu membuatnya lebih tenang.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Suster pun datang melihat keadaannya. Tampak senyum bergurat kecemasan Nampak di wajahnya. Sepertinya ia berusaha membuat kita semua agar tetap tenang. Ia pun menuangkan susu ke dalam gelas dan mengambil air di dalam sebuah botol air. Tak berhenti kutatap pergerakan suster itu. Terlalu banyak kecurigaan yang terbersit di pikiran jika berada di dalam rumah sakit ini. Terkadang perawat dan dokternya memberikan pelayanan seadanya saja. Apalagi dengan Dato’, mungkin di pikiran mereka hanya menunggu waktu saja. Hanya menghabiskan obat dan cairan makanan dan akhirnya selesai. Beliau pun meminum susu yang dimasukkan di dalam selang hidungnya yang berhubungan langsung dengan lambung. Subhanallah…beliau benar-benar tidak berdaya.
Wajah Ummi sudah sangat terlihat pucat, kakinya masya Allah sudah mulai membengkak. Sudah lama beliau berdiri di samping pembaringan suami yang sangat dicintainya itu. Kecintaannya membuat beliau lebih memilih mendampingi, men-talqin dan mengusap wajah Datok ketimbang beristirahat. Wajah sendunya telah memudarkan rona wajah beliau yang biasa terlihat. Tante Anti , Tante Ida, Tante Lina beserta semua keluarga tak henti-hentinya menjaga beliau. Untungnya aku membawa sebungkus buah duku yang bisa mengisi perut dan berbagi dengan mereka.
Rasanya aku tak ingin meninggalkan tempat ini hingga melihat kepergian beliau, namun Mama dan Tata’ Aji ternyata sudah lelah dan belum makan malam sama sekali. Petta Lely apalagi, yang mengemudi padahal beliau juga baru saja pulang dari tempat kerja. Subhanallah. Aku tak ingin meninggalkan Dato’.. Namun, tak lama kemudian tubuhnya menghangat kembali, nafasnya tidak tersengal seperti sebelumnya. Mungkin beliau sudah cukup tenang dan tertidur.
Aku pun beranjak dari kursi di samping pembaringannya.. Lalu menyalami semua tante, anak-anak yang amat dikasihi Dato’ juga cucu-cucunya yang masih setia menunggunya di luar. Kembali kutengok beliau, rasanya berat untuk meninggalkannya. Mungkin inilah saat terakhir aku bertemu dengannya di dunia yang fana ini. Akhirnya, sebelum pergi…aku pun meremas tangannya untuk menyalaminya, Tak henti-hentinya kukecup tangannya yang tiba-tiba menggenggam tanganku erat sekali.
Dekapan tangannya sepertinya mengisyaratkanku untuk tetap tinggal . Namun malam sudah semakin larut. Aku khawatir kesehatanku juga akan menurun jika memaksakan diri. Assalaamu’alaykum Dato…sahutku.
Matahari telah terbit, masih kubertanya-tanya bagaimana keadaaan Datok di sana?. Semoga ia baik-baik saja. Alhamdulillah, tidak ada kabar berita dari telepon yang kami dapatkan dari rumah sakit. Siapa tahu kondisi Datok menguat dan akhirnya bisa pulih seperti dulu…
Handphone Mama berdering…Kurang lebih pukul 12 lewat 50 menit.. Aku bersama seorang murid yang sedang belajar di rumah mendengarnya dari kamarku. “ Apa?? Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun …”
Subhanallah, pundakku tiba-tiba lemah lunglai. Pandanganku seperti kosong. Tak mampu lagi mengucapkan kata-kata…muridku melihat gerikku yang sudah gerasak gerusuk menghubungi ibunya. Setelah ini, seisi rumah harus pergi ke rumah beliau,nak, ucapku kepada Tika, my beloved student.
Pukul tiga lewat lima menit, akhirnya aku melangkahkan kaki bersama Bapak dan Mama menuju ke pembaringannya yang telah dapat kulihat dari kejauhan..
”Datok sudah tiba…”, pintaku dalam hati.
Langkahku semakin lama semakin cepat seolah tak mampu lagi kutahan kesedihan ini. … Ternyata kejadian ini berulang kembali seperti Ibu Aji dulu. Yang ada tinggal jasadnya saja… Aku tidak sempat memndampinginya di saat-saat hembusan nafasnya yang terakhir.
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun..
Subhanallah, aku teringat Baginda Rasulullah sewaktu anaknya, Ibrahim wafat. Meleleh air mata beliau namun beliau tetap saja mengucapkan kata-kata kebaikan.
Tak henti-hentinya aku ingin memeluknya…mengecup keningnya..
Dato’, maafkan kalau aku punya salah. Maafkan segala kesalahan anak-anakmu, cucu-cucumu yang pernah mendurhakaimu atau mungkin pernah menyakiti hatimu. Dato’, kami akan selalu mendampingi dirimu dengan doa…
Allahummagfirlahu warhamhu wa’aafiihu..
Wa’fuanhu,, wa akrim nuzulahu , wa wassi’mudkhalahu… Yaa Arhamarraahimiin…
Perih terasa kepala ini dibuat, mungkin kesedihanku terlalu dalam ya Rabb…Astagfirullah…
Keesokan harinya…saatnya keluarga membawanya ke persitirahatan terakhir Datok. Ternyata diputuskan Datok akan di makamkan di Sudiang. It means, tempat peristirahatan Ibu Aji dan Ambo’ juga disana. Tak sabar aku ingin melihat kuburan mereka di sana…
Satu per satu anak dan cucunya mengecup dan mengusap kening Datok. Itulah kali terakhir mereka menyentuh Datok dengan penuh kasih. Aku tak sanggup lagi menyentuhnya…Perasaan sedihku kukhawatirkan akan membuat perasaanku semakin tidak stabil.
Pukul 11.25 , Alhamdulillah…Datok Ali telah berada dibaringkan di tempat peristirahatannya. Stu per satu menatap sedih, sendu, memandang melambung jauh…memikirkan kejadian apa yang ada di hadapan mereka. Ada yang mendoakan, berbisik bercerita tentang beliau…Subhanallah. Tersadarku bahwa satu per satu di antara saksi hidup yang berdiri di tempat ini juga akan menyusul. Namun entah hingga kapan tiba waktunya. Datok…insya Allah aku akan selalu mendoakanmu, Datok. Semoga doa yang kupanjatkan bisa menjadi penyelamat yang mendampingimu di alam barzakh. Semoga Allah Yang Maha Mulia, Maha Mengampuni, memudahkanmu menghadapi pertanyaan kedua malaikat-Nya yang diutus untuk menanyaimu tentang tiga perkara penting…yang telah kau ajarkan kepada anak cucumu di dunia…dan semoga…setelah itu, Allah meluaskan kuburmu dan memberikanmu ranjang yang lebih baik dari dunia dan segala isinya untukmu beristirahat. Aku memang bukan cucumu yang selalu kau lihat setiap hari. Bukanlah anak yang selalu menyapamu seperti yang sanak saudara yang lain. Namun semoga hadiah doa yang kuberikan pada Rabb Yang Kucinta mampu membuatmu tak pernah melepaskan rekah senyummu di sana…

No comments:

Post a Comment