Saturday, February 20, 2010

Sepucuk surat dari seorang Ayah

Asslm...ayah, jika suatu saat kau membaca kembali surat ini, semoga engkau ayah merasakan betapa dalamnya rasa bersalah ini. semoga bermanfaat bagi pembaca lainnya yang memiliki atau telah memiliki ayah terbaik yang telah dianugerahkan oleh Al-Khaliq

09 Juli 2004 - 10:28

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki; surat seorang ayah kepada seorang ayah.

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.

Nak, menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.

Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti, bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua. Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK", timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan.

Nak, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan siapa engkau. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh -penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku.

Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena Nya, bukan karena kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Tuhan.

Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan Tuhan. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit.

Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan ruhaniah yang sebenarnya.

Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti, Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.

Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya. Dari ayah yang senantiasa merindukanmu. (disalin dari lembaran da'wah "MISYKAT" No.8)

from : http://www.dudung.net/artikelislami.html

Tanganmu, Ibu.

Alhamdulillah, artikel ini dari blog favorit saya, semoga kasih sayang Allah Yang Maha Mulia dan tercurah melalui bunda tercinta selalu mengalir ke hati dan jiwa yang dhaif ini.


Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

(Emha Ainun Najib)

Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar,

"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya

"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.

"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu.

"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu.?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal?

"Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.

Adzan isya berkumandang,

Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-Thariq.

Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.

"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss sekali.

"Penyakit orang tua"

"Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.

Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan.. Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?

Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

***

Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisan saya ini. Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya, inilah masanya.

Thursday, February 11, 2010

Pemburu Dunia...

Seperti pepatah “Kejarlah daku kau kutangkap”, begitulah dunia memberikan penawaran kepada makhluk bernyawa yang diberikan nafsu dan akal untuk hidup di dunia ini. Sebuah perangkap yang dihinggapi oleh siapa saja yang memburu dunia. Seorang ulama salaf berkata, dengan inti nasehatnya adalah, semakin kau mengejar dunia, maka semakin kencang dunia berlari menjauhimu. Namun jika engkau mengejar akhirat maka engkau akan mendapatkan akhirat sementara dunia tunduk kepadamu.
Seringkali kita tidak berpikir lagi tentang alasan apa yang membuat kita selalu terbangun di pagi hari…apakah karena dunia, ataukah karena ingin mengharapkan wajah-Nya Allah yang Maha Mulia. Rutinitas itu terus saja berlangsung setiap hari. Kita terjaga di pagi hari, kemudian bekerja atau mencari ilmu ataupula untuk melakukan kemaksiatan yang sudah terbiasa dilakukan, wallahu musta’an. Lalu di malam harinya kita pun beristirahat dan tertidur dengan cara yang berbeda-beda. Tidur karena ingin bangun di sepertiga malam untuk menemui Allah yang turun ke langit pertama, ataukah tidur karena kelelahan dari berbuat maksiat.
Saya masih teringat sewaktu masa-masa remaja dulu. Tak henti-hentinya kami berburu informasi tentang info fashion yang up-to-date di majalah-majalah ternama. Rubriknya kurang lebih tentang trend artis papan atas baik dalam negeri maupun LN, zodiac minggu ini,cerpen remaja, dan sebagainya yang sepertinya akan bergoncang dunia remaja kita jika tidak melewatkan hal tersebut. Belum lagi pergaulan dengan lawan jenis tanpa mengindahkan rasa malu hingga bertamu ke kamar laki-laki adalah sesuatu hal yang biasa saja terjadi di kalangan remaja gaul nan trendi. Begitulah orang-orang menyebutnya.
Tapi hati ini pun bertanya-tanya…apa yang akan saya dapatkan jika terus-menerus mengejar dunia seperti ini? Akankah teman-temanku tetap setia dan orang-orang yang kukagumi, artis-artis yang kuidolakan akan memberikanku reward atas pengorbananku untuk mencintai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka? The answer is nothing…
Kemudian kembali terfikir tentang semuanya…bagaimana jika saya meninggalkan semua ini? Akankah diri ini tidak berharga lagi di mata mereka? Jikalau tidak di mata mereka, bagaimana di mata Allah Yang Maha Mulia? Subhanallah…pertanyaan itu membuat hatiku semakin bergetar..entah mengapa demikian yang jelas pada saat itu semakin bimbang pula jiwa ini melihat keberadaanku dengan keadaan di sekeliling. Tsumma Alhamdulillah, bukti dan janji Allah itu benar, coba saja kita mentadabburi kembali surah Al-Lail ayat 6 dan 7, niscaya kita percaya bahwa kebahagiaan itu datangnya bukan dari manusia namun semuanya dari Allah.
Seorang pengusaha sukses dalam karier, memiliki keluarga dan istri yang menawan namun tidak memiliki iman, demi Allah apa yang dia rasakan hanya kulit luar dari sebuah kebahagiaan. Makanya orang-orang kafir sangat doyan untuk travelling dan menghabiskan uang dan waktu mereka untuk menikmati dunia, yang notabene hanya dinikmati lewat mata, perut dan kemaluan. Selebihnya, mereka mencoba mencari pencerahan melalui yoga atau semacamnya…itupun untuk menenangkan hati saja dalam sesaat. Sementara perangkap dunia terjadi di setiap detik waktu yang terlewati. Berbeda dengan orang mu’min yang mengembara di dunia hanya sekedar mencukupi kekuatan fisik mereka.. Ada pepatah yang mengatakan, makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Makan, minum, tidur, bercanda dan segala hal yang mubah dijadikannya sebagai hal untuk menguatkannya dalam bermulazamah dengan Allah, bukan sebagai tujuan.
Adakah terdesir di sudut hati kita untuk mendapatkan senikmat-nikmatnya perkara mubah itu? Ataukah sudah terbiasakah diri ini untuk mendapatkan nikmat yang lebih dari yang biasanya? Kalau kita kembali mentadabburi surah At-Takatsur, semoga kita merasa malu dari mana saja segala nikmat yang kita dahulu nikmati yang akan Allah tanyakan kepada kita di hadapan-Nya kelak. Contoh kecil saja, kalau menyalakan Televisi dan menonton saluran favorit, eh..tiba-tiba adzan telah bergema ke penjuru langit. Namun mata tetap saja stand-by tanpa kedipan di depan Benda Ajaib itu. APAKAH kita adalah salah satu hamba-Nya yang juga terdaftar sebagai Pemburu Dunia?
“Innasa’yakum la syatta”..sesungguhnya usahamu memang berbeda-beda”, begitulah Allah berkalam dalam al-quran surah Al-Lail ayat keempat. Namun coba lihat lagi lebih dekat surah tersebut dengan lebih teliti. Allah ‘Azza wa Jalla memperlihatkan kepada kita kejadian yang ternyata terjadi dikehidupan kita sehari-hari. Siapa yang memburu dunia maka Allah akan mempersulitnya, siapa yang membenarkan pahala Allah dengan memalingkan diri dari dunia niscaya Allah akan mempermudah urusannya. Sesungguhnya janji Allah pastilah benar, seorang hamba saja yang berdoa dan mengangkat tangan..adalah perkara yang membuat Allah sangat Malu untuk tidak mengabulkan permintaannya..
Tidak akan rugi seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah. Jika di antara kita semua masih memiliki harapan dan cita, mintalah kepada Allah Yang Terbaik karena sesungguhnya Allah Mengetahui, Mencintai kita lebih daripada diri kita sendiri. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha kita. Seringkali kita berpikir, kenapa keadaan ini tidak sesuai dengan harapanku? “. Berbaik sangkalah terhadap Allah, dan janganlah meminta sesuatu kecuali yang terbaik menurut pandangan Allah, bukan pandangan dari diri kita. Kita ingin mendapatkan harta yang banyak, pasangan hidup yang shaleh/shalehah, karier yang mulus, anak yang berbakti..Allah sangat mengetahui niat baik dari doa-doa yang kita panjatkan , so.. berbaik sangkalah kepada Allah, tawakkal dengan sebaik-baiknya…trust Allah lebih daripada kepada manusia..jadikan Allah sebagai penjamin hidup kita, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha menyayangi dan mencukupi kebutuhanmu mulai dari terjaga hingga pada saat tertidur pulas…(azee-z@h)